Siapa yang tidak mengenal tokoh nasional bernama Kiai Haji Abdurrahman Wahid, atau lebih dikenal dengan sebutan Gusdur? Sosok yang satu ini dikenal sangat humoris dan ramah terhadap siapapun. Presiden keempat Republik Indonesia ini dikenal sebagai tokoh yang dekat dengan segala suku, agama, dan ras. Terlebih di negara Republik Indonesia tercinta ini, sosok Gusdur menjadi panutan banyak orang dengan teladan dan guyonan-guyonannya yang menampar hati kecil kita.
Tokoh nasional kelahiran Jombang, Jawa Timur 7 September 1940 dan tutup usia di usia 69 tahun. Lahir dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Hj. Sholehah. Ayahanda Gusdur merupakan menteri agama di era presiden Soekarno. Kakek Gusdur, K.H Hasyim Asyari adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Tepat tanggal 30 Desember 2016, merupakan tahun ketujuh kepergian Gusdur dari dunia ini. Setelah kepergian Gusdur pada tahun 2009, untuk mengenangnya selalu diperingati Haul Gusdur oleh berbagai kalangan masyarakat mulai dari pejabat, santri, dan masyarakat umumnya.
Haul Gusdur kali ini dilakukan Jumat malam, 23 Desember 2016 di tempat kediamannya kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan. Mulai dari presiden Jokowi, Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Kapolri Tito Karnavian, Menkopolhkam Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, dan juga mantan wakil presiden Budiono juga hadir di haul ke-7 Gusdur.
Bahkan ketiga calon gubernur DKI Jakarta pun turut meramaikan Haul gusdur ke-7. Mulai dari Agus, Ahok, dan Anies Baswedan. Penulis berandai-andai jika Gusdur masih hidup di dunia ini, celoteh (nasehat/saran/komentar) apa yang bakal dilemparkannya kepada tiga calon gubernur DKI Jakarta yang terlalu memakan banyak sorotan media. Kemungkinan besar kita akan dibuat mengangguk-anggukkan kepala pertanda setuju dengan ucapan-ucapannya dan besar kemungkinan tidak akan terjadi suhu politik yang sehangat ini, di DKI Jakarta.
Presiden Jokowi dikutip dari laman liputan6.com mengingatkan kembali ketiga pasangan calon gubernur DKI Jakarta yang hadir dalam Haul Gusdur ke-7 tentang ajaran filosofi yang pernah diajarkan Gusdur. Presiden keempat Republik Indonesia memang dikenal sebagai bapak pluralisme yang mengajarkan sikap toleran.
Gitu aja kok repot
Dari sosok Gusdur yang sangat kharimastik ini, penulis selalu terkekeh-kekeh dengan ungkapan atau ucapan “gitu aja kok repot”. Ya, gitu aja kok repot ala Gusdur sangat menggelitik dan menampar hati kecil kita dengan segala permasalahan yang terjadi di sekitar kehidupan.
Gusdur semasa hidupnya juga dikenal dengan pengetahuannya tentang sepakbola. Bayangkan saja ketika timnas yang baru-baru ini dikalahkan Thailand dengan agregat 3-2 di final Piala AFF 2016. Kira-kira apa komentar yang akan diucapkannya pertama kali mengetahui timnas kalah. Penulis menerka komentar pertama kali yang diucapkan beliau “timnas kita sebenarnya bisa menang, kalau gawang timnas kita kebobolan lebih sedikit daripada gawang lawan”. Lantas di ujung komentarnya disisipin kalimat “gitu aja kok repot”.
Kita pasti tertawa mendengarnya, namun di balik ungkapan “gitu aja kok repot”. Ada pencerahan dan nilai-nilai positif yang sebenarnya hendak dipancarkannya kepada orang yang mendengarnya. Ungkapan “gitu aja kok repot” ala Gusdur, penulis menangkapnya sebagai penyederhanaan dalam segala permasalahan yang dihadapi. Sehingga permasalahan yang dihadapi (kita hadapi) tidak menimbulkan masalah berkepanjangan atau malah menimbulkan masalah yang lain.
Contoh kecilnya ketika harga cabai merah merangkak naik tajam ke level Rp100 ribuan. Banyak keluh-kesah berseliweran di media sosial, ibu-ibu bermuka masam dengan gaji suami yang pas-pasan ditambah lagi kebutuhan sehari-hari (cabai) naik tajam. Padahal masalah kenaikan cabai yang terlalu tajam tersebut cukup mudah diselesaikan mengikuti metode ala Gusdur. “Gitu aja kok repot”, jika harga cabai tinggi ya jangan membeli cabai banyak-banyak. Lagipula masih ada cabai rawit atau cabai hijau yang lebih murah dari cabai merah.
Kalau tidak bisa juga mengurangi konsumsi cabai, cobalah di lain hari dengan menanam cabai sendiri di pekarangan rumah. Lagi pula gara-gara cabai mengapa mesti dibesar-besarkan. Sama halnya seperti permasalahan harga daging yang pernah melambung cukup tinggi. Banyak yang berkeluh-kesah nyinyir dengan permasalahan tersebut, padahal selain mengkonsumsi daging sebagai sumber protein bisa juga dengan mengkonsumsi tempe dan tahu. Kandungan gizinya tidak kalah dengan daging dan harganya jauh lebih murah.
Masyarakat kita terlalu menyibukkan dan membesar-besarkan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting dan bisa diselesaikan dengan mudah. Di negeri ini pernah lahir tokoh sekelas Gusdur yang bisa hidup berdampingan dengan siapapun.
Hal yang pertama wajib kita teladani dari Gusdur menurut penulis adalah ungkapan “gitu aja kok repot”. Ini adalah kunci untuk menyejukkan segala akar permasalahan yang timbul di negeri tercinta ini. Hidup dalam kesederhanaan bukan berarti hidup kurang harta atau benda tetapi memahami sesuatu itu dengan sangat sederhana jangan melebih-lebihkan sesuatu hal yang tidak elok karena jika kita ikut larut dalam kesibukan tersebut kita juga yang dirugikan.
Toleran
Gusdur memang telah tiada tetapi, semangat pluralisme harus tetap dinomorsatukan mengingat banyaknya suku-suku dan agama yang ada dan diakui di Indonesia. Jika semangat itu dilupakan begitu saja, maka negara kita akan dengan mudahnya terpecah-belah.
Penulis memandang toleransi adalah kata kunci kedua setelah ungkapan “gitu aja kok repot” karena jika kita sudah mempersempit ruang gerak dalam membesar-besarkan suatu masalah maka dengan sendirinya intoleran akan terkikis dan muncul dalam diri tiap individu untuk saling menghargai dan menghormati satu sama lainnya.
Betapa indahnya pemikiran Gusdur bila diterapkan dalam kehidupan bukan? Minoritas hidup berdampingan dengan mayoritas, yang minoritas mau bersatu (bercampur-baur) dengan yang mayoritas, dan kaum mayoritas melindungi kaum minoritas.
Haul ke-7 Gusdur yang dihadiri berbagai elemen bangsa Indonesia mulai dari Presiden Jokowi dan menteri dalam kabinet kerja, kerabat Gusdur, calon-calon Gubernur DKI, dan masyarakat umum. Mereka berkumpul untuk memberi penghormatan kepada Gusdur yang memang semasa hidupnya dikenal sangat dekat terhadap siapapun.
Gusdur memang telah tiada. Tetapi tidak ada salahnya kita mengenang kembali sosok Gusdur yang sederhana ini. Mengingat-ingat kembali pemikiran berharga yang ditorehkan Gusdur yaitu ungkapan “gitu aja kok repot” dan pluralisme. Pluralisme bila disederhanakan lagi yaitu mengedepankan kebersamaan dengan bersikap toleran sehingga terwujudlah cita-cita bangsa Indonesia yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Jika ada permasalahan yang mulai membesar segera dikecilkan jangan malah dibesar-besarkan, dan masalah kecil segera dipadamkan. “Gitu aja kok repot”. Pluralisme harus tetap dihidupkan karena jika kita mengakui berbangsa Indonesia, tentu mencintai persatuan dan keutuhan NKRI.
Penulis adalah Alumnus di Unimed, peminat masalah sosial, budaya, dan olahraga
Nb: Tulisan original abd. Rahman/legend
Bila hendak mengambil sebagian atau seluruhnya harap cantumkan sumber saja ya.
sumber gambar: internet (nggak ada linknya)
0 Response to "Mengenang Kembali Sosok Gusdur"
Post a Comment